
Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara terbuka mengakui adanya keterbatasan waktu dalam proses verifikasi keaslian ijazah para calon peserta pemilihan umum. Pengakuan ini disampaikan di tengah sorotan publik dan mencuatnya kembali isu mengenai keabsahan dokumen pendidikan dalam kontestasi politik. Seorang ahli hukum kepemiluan menyoroti bahwa keterbatasan waktu tersebut seharusnya diimbangi dengan transparansi yang lebih baik dari pihak KPU.
Anggota KPU, Mochammad Afifuddin, menyatakan bahwa padatnya jadwal dan tahapan pemilu, yang terkadang berdekatan dengan jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada), menjadi salah satu faktor utama minimnya waktu yang tersedia bagi KPU untuk melakukan verifikasi mendalam terhadap keaslian ijazah seluruh calon peserta pemilu.
“Kadang-kadang kami juga punya kurang waktu untuk kemudian dan kurang kewenangan juga untuk menyatakan ijazah ini asli apa tidak. Keringetan kami juga nggak selesai juga,” ujar Afifuddin dalam sebuah diskusi di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2025).
Selain keterbatasan waktu, Afifuddin juga menyinggung soal kewenangan KPU yang terbatas dalam menyatakan keaslian atau kepalsuan sebuah ijazah. Proses verifikasi keaslian ijazah seringkali memerlukan konfirmasi langsung kepada institusi pendidikan terkait, yang membutuhkan waktu dan prosedur tersendiri.
Pentingnya verifikasi ijazah dalam proses seleksi peserta pemilu tidak dapat dipandang remeh. Dokumen pendidikan merupakan salah satu persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh setiap calon. Keabsahan ijazah berkaitan dengan integritas calon dan menjamin bahwa mereka memenuhi kualifikasi minimal yang dipersyaratkan oleh undang-undang.
Menanggapi pengakuan KPU ini, Ahli Hukum Pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Titi Anggraini, menyoroti aspek transparansi dalam proses verifikasi yang dilakukan KPU. Menurut Titi, meskipun KPU menghadapi keterbatasan waktu dan kewenangan, bukan berarti proses verifikasi luput dari prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
“Keterbatasan waktu dan kewenangan KPU seharusnya diimbangi dengan transparansi proses verifikasi. Publik berhak tahu bagaimana mekanisme KPU mengecek dokumen peserta pemilu,” kata Titi Anggraini.
Titi menambahkan, minimnya transparansi dalam proses verifikasi ijazah dapat menimbulkan kecurigaan dan spekulasi di masyarakat, terutama jika di kemudian hari muncul isu mengenai keabsahan ijazah peserta pemilu yang telah lolos verifikasi. Hal ini dapat menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu dan integritas hasil pemilu itu sendiri.
Ahli hukum kepemiluan tersebut mendorong KPU untuk membangun sistem informasi yang lebih terbuka terkait proses verifikasi dokumen calon peserta pemilu. KPU dapat mempublikasikan data-data relevan mengenai status verifikasi ijazah (tentu dengan tetap memperhatikan perlindungan data pribadi) atau memberikan akses bagi pihak yang berwenang atau publik yang berkepentingan untuk melakukan pengecekan silang.
Afifuddin dari KPU juga sempat menyinggung pentingnya kejujuran dari para calon peserta pemilu terkait rekam jejak mereka, termasuk jika pernah terjerat kasus pidana. Menurutnya, kejujuran calon akan sangat membantu tugas KPU dalam melakukan penyaringan. Ia berharap agar dalam revisi Undang-Undang Pemilu mendatang, aspek-aspek teknis terkait verifikasi dokumen dan rekam jejak calon dapat diatur lebih jelas untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi penyelenggara pemilu.
Kasus-kasus sengketa atau isu mengenai keabsahan ijazah peserta pemilu bukanlah hal baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Pengalaman ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi KPU untuk terus memperbaiki sistem dan prosedur verifikasi, serta meningkatkan transparansi guna meminimalkan potensi masalah di kemudian hari.
Pengakuan KPU mengenai keterbatasan waktu dalam verifikasi ijazah ini menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam merumuskan regulasi kepemiluan yang lebih komprehensif dan realistis. Waktu yang memadai dan kewenangan yang jelas bagi KPU untuk melakukan verifikasi dokumen peserta pemilu merupakan elemen krusial untuk menjamin integritas dan kualitas proses demokrasi. Transparansi dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu, termasuk verifikasi persyaratan calon, adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik dan menjaga legitimasi hasil pemilu.